26 Agustus 2010

Klandestinasi


Saat itu, kecuali aku dan kekasihku, semua yang ada di dalam mobil, termasuk orang tua kekasihku dan saudaranya, tertidur lelap, diselimuti rasa kenyang dan lelah, kecuali sang pengemudi, tentunya. Meski masih menjaga stabilitas kesadarannya, namun kelopak matanya seperti digelayuti seekor Gorilla.

Gelapnya malam seakan merasuki kabin mobil sambil meniupkan partikel-partikel udara yang terasa cukup dingin. Aku dan kekasihku yang duduk bersebelahan di jok penumpang, hanya bisa duduk sambil mengamati penumpang lainnya layaknya dua ekor
Vulture yang mengamati bangkai-bangkai santapan makan malamnya. Kuselundupkan tanganku melingkari bahu kekasihku untuk membuatnya merasa lebih hangat. Ia meresponnya dengan menyempitkan ruangan diantara kami berdua sedemikian rapatnya sampai tak satupun nyamuk yang dapat terbang dicelah tubuhku dan kekasihku. Kecepatan mobil diatas jalan yang berkelok-kelok sekaligus bergelombang itu membuat kami seperti puding yang dibawa lari seorang anak kecil.

Perjalanan yang harus ditempuh akan memakan waktu sekitar dua jam lagi, dan tanganku sudah melakukan perjalanan sampai punggung sebelah bawah tepat diatas sabuk celananya. Kekasihku mengerlingkan matanya padaku seperti sebuah iklan di etalase supermarket. Malam itu aku adalah seorang konsumen yang haus shopping. Tanpa kusadari pahaku telah dihinggapi sebuah obyek yang tak dapat ku identifikasikan. Gelapnya malam telah membutakan kedua mataku, maka dari itu, tugas kesadaranku kulimpahkan sepenuhnya pada naluriku. Obyek tersebut membuat pahaku tersenyum dalam kehangatan. Obyek tersebut terus bergerak sampai memasuki celanaku yang sedikit longgar. Ia merebahkan kepalanya ke bahuku dan menghiasi wajahku dengan rambutnya yang tergerai tertiup angin.

Malam itu benar-benar sebuah kebisuan yang tak kunjung berakhir. Tak sepatah katapun meneranginya.

Kini celanaku telah dipenuhi oleh si obyek yang tak teridentifikasi tersebut, dan ia tampaknya memaksaku untuk menoleh kesebelah kiri dan kanan untuk mengamati kembali keadaan di sekelilingku. Aku masih mendapatkan jawaban yang sama.

Tangannya yang lain menyelinapkan tanganku untuk melanjutkan perjalanan yang sebelumnya terhenti sesaat. Kali ini ia menunjukkan arah yang aku yakini kami inginkan. Namun ruangan yang sempit antara celana dan kulitnya sedikit menghambat perjalanan kami. Ia melonggarkan sabuknya dan meninggalkan sebuah celah yang cukup besar bagi tanganku untuk dapat berjalan sendiri tanpa bantuan tangannya.

Jalan yang bergelombang lagi-lagi telah membantu untuk memuluskan perjalanan tanganku yang pada saat itu telah mencapai tujuannya. Pada saat itulah, tangan-tangan kami mulai bercakap-cakap melalui bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh kami. Tidak oleh ibunya, ayahnya, kakaknya, iparnya, atau siapapun juga. Percakapan yang begitu indah ini takkan pernah dapat mereka pahami. Ia adalah milik kami saja.

Kami sedang membarter kesenangan dengan resiko tertangkap makhluk lain yang tak mengerti apa yang kami lakukan dan ucapkan. Karena konon, dalam posisi kami, bahasa itu dilarang. Ilegal. Kami layaknya kombinasi palu dan arit yang disilangkan. Mobil yang dikelilingi polisi tidur. Dan kini malam telah benar-benar membungkam mulut manusia, terkecuali kami yang masih menari-nari dan bernyanyi-nyanyi dalam kebisuannya. Percakapan kami benar-benar intens, dimana tangan-tangan kami bergumul dengan terminologi baru yang semakin memperkaya kosakata kami.

Kami kemudian merubah rute perjalanan. Meruntuhkan dikotomi kedalam sebuah platform baru yang hanya bisa dilakukan secara simultan. Ekstasi.

Kami terus melakukan eksplorasi-eksplorasi untuk merumuskan sebuah formula baru yang akan meletakkan kami ke puncak grafik. Sebuah grafik yang terletak diantara dua sumbu. Sumbu X dan Y. Aku dan kekasihku. Kami sudah tak peduli lagi dengan apapun yang ada disekitar kami. Kami seakan tak mempunyai rasa takut akan polisi tidur yang sewaktu-waktu akan memperlambat laju percakapan kami. Meskipun demikian, aku tetap berharap agar formula segera terbentuk sebelum raksasa-raksasa ini terbangun.

Malam memelototi proses ini, angin tetap berlalu lalang. Jalan masih keriting. Terlalu larut bagi aparat untuk berpatroli. Kami menemukannya! Aku dan kekasihku telah menemukannya. Meski hanya untuk beberapa detik saja ia terasa lebih lama dari seluruh hidupku. Pada akhirnya kami telah mencapai tujuan perjalanan sebelum mobil yang kami tumpangi mencapai tujuannya. Kami telah menang!

You can find your only safety is in danger.

24 Maret 2010

Katastrofa


"Sepertinya sebentar lagi akan kukirim hujan yang lebat beserta angin yang berhembus kencang. Tidak, aku berubah pikiran. Aku mengirim badai. Persiapkan dirimu karena nampaknya bencana besar akan menghampirimu."

Tidak ada kata yang mampu melukiskan kemurkaanku. Aku, yang mencipta, meletakkan satu gundukan salju di tengah-tengah hamparan pasir. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Tapi siapa yang dapat mengerti apa yang hendak kusampaikan? Bagaimana mungkin kalian memahaminya jika yang kalian lakukan hanya memandangi, menyimpan gambarnya di dalam otak, lalu pergi memberitahu sesama tanpa sedikitpun renungan atas kejanggalan itu? Seperti memamerkan sesuatu untuk sebuah pujian atau hinaan. Betapa teganya kalian.

Tak dapat dipungkiri, itulah kalian, yang semakin lama semakin pintar tapi tidak semakin peka terhadap amarah tak berwujud. Bukan aku menghakimi, hanya saja banyak yang mengaku pintar tetapi tidak benar-benar pandai.

Kalian menari memohon aku untuk menangisi tanah kering, sudah kulakukan. Dan setelah satu permohonan terwujud, kalian menari lagi untuk menghentikan tangisanku. Tak pernah kupertanyakan maksud terpendam di setiap tarianmu. Aku melakukannya dengan senang hati. Bahagiaku melihat senyum di bibir kalian.

Akan tetapi, kekecewaanku bertambah seiring perkembangan keturunan kalian. Tak lagi dapat kulihat tulusnya permohonan ataupun senyuman pertemanan. Kalian yang kini terlalu pintar, berlomba mencipta sesuatu yang lebih agung. Berhentilah berkompetisi denganku. Karena yang kutahu, kekalahanku berarti pemusnahan akan sesamamu.

Kalian, sekumpulan otak yang berbalut tengkorak, terbungkus rapih oleh daging dan darah yang mengalir dengan berbagai aroma kerakusan dan ketidakpuasan. Sesungguhnya tidak pernah benar-benar mengetahui siapa aku sebenarnya. Kalian hanya meraba tanpa pernah benar-benar mengerti. Ketika kebanggaanmu hanya sebatas penciptaan maka semakin sukar kau memahamiku. Karena aku bukan hanya pencipta.

Aku menunjuk siapapun dari kalian untuk mengalahkanku. Kalahkan aku! Dalam segalanya. Karena sekarang, amarahku memuncak, sisi lain diriku yang belum pernah muncul di hadapan leluhur kalian. Bahkan lebih besar dari pemusnahan manapun yang tertulis. Tentu kalian mengetahuinya, kalian sekumpulan bangsa yang cerdas bukan? Sekumpulan otak yang dapat berjalan. Tapi sepintar apapun kalian, aku tak terelakkan. Karena aku yang menciptakanmu.

Tapi aku yang lebih tak bernilai dari angka-angka ciptaanmu, bahkan lebih sederhana dari segala kemewahanmu. Namun dalam keterpurukanku olehmu, akulah kehancuranmu. Amarahku akan penghancuranmu terhadap segala ciptaanku, membuatku menghancurkanmu dengan senang hati. Ingatkah kau kepada dosa-dosamu akan penghancuran yang kau lakukan demi puji-pujian dari sesamamu, demi kemudahanmu, dan demi kerakusanmu atas sebuah harga dan nilai?

Aku, yang dengan senang hati akan melakukan pembalasan terhadapmu. Akulah utusan dari penciptaanku yang kau hancurkan tanpa rasa belas kasih. Akan kuhanguskan bangsamu seperti kau menghanguskan hutan-hutanku. Kau akan mati terinjak dengan seluruh isi dalam balutan dagingmu terburai keluar. Sama seperti ketika kau meratakan teman-teman kecilku dengan alat-alat berat ciptaanmu demi setumpuk kertas yang dapat kau tukar untuk kain penutup auratmu.

Tidak lama lagi kalian akan melihat bagian lain dari diriku. Dan ketika saat itu tiba, aku akan mengembalikan ingatanmu tentang dosa yang kalian lakukan, satu persatu. Dan dengan sebuah senyum kepuasan aku akan melakukannya. Aku hanya menyampaikan pembalasan yang tak mampu dilakukan oleh semut-semut yang terinjak. Tidak lebih.



(Vendethiel)

14 Maret 2010

Residu


Kelak,
kami akan jadi jelmaan kanak-kanak yang membludak. Menggodok residu, membedaki wajah dengan mesiu, dan menghantam telak jidatmu dengan tinju. Bukan peluru! Hanya persis!

Kelak,
kami akan menjelma jadi kanak-kanak yang memiliki nyanyinya sendiri seperti masa lalu, dengan dolanan yang biasa (bikinan papa), tanpa mainan yang dibeli dengan harga diri (kecemberutan mama dan kecemburuan tetangga).

Kelak,
kami akan jadi buah yang matang dan juga mempertanyakan jaman. Yang membantah juga menanam bibit pembangkangan pada jejeran menara buram.

Kelak,
kami akan jadi kanak-kanak lagi. Mengendarai kapal-kapalan kertas, cinta-cinta yang kapas, tapi membawa ketapel-ketapel cadas.

Oi, kau tahu? Dan kinilah kelak itu! Sebab telah kami aktifkan bom waktu, yang kami hitung mundur dari sekarang, yang kami endapkan sejak masa lalu dan akan diwariskan pada masa depan.

Hitung olehmu; Lima, empat, tiga, dua, dan ...

06 Januari 2010

Kapalnya Orang-Orang Tolol


Pada suatu ketika, seorang kapten dan para perwira dari sebuah kapal merasa yakin atas perjalanan mereka mengarungi lautan, penuh percaya diri dan bangga dengan diri mereka sendiri, sehingga mereka menjadi gila. Mereka membelokkan kapal mereka ke utara dan berlayar hingga mereka berpapasan dengan gunung-gunung es dan gumpalan-gumpalan es terapung yang berbahaya, dan mereka tetap berlayar ke utara menuju perairan yang semakin berbahaya, semata-mata demi memberikan kesempatan pada diri mereka sendiri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pelayaran yang jauh lebih brilian.

Sebagaimana kapal tersebut mencapai garis lintang yang semakin tinggi, para penumpang dan awak kapal semakin merasa tak nyaman. Mereka mulai berselisih di antara mereka sendiri dan mengeluhkan kondisi-kondisi hidup mereka.

“Aku menggigil,” ujar seorang jurumudi, “Seakan inilah pelayaran terburuk yang pernah aku lakukan. Dek penuh dengan es; saat aku melongok keluar, angin menusukku seperti pisau menembus jaketku; setiap saat aku menghindari karang aku harus menggerakkan seluruh jemariku yang membeku; dan untuk semua itu aku hanya mendapatkan lima shilling per bulan yang menyedihkan!”

“Kau pikir apa yang kamu terima itu buruk!” ujar seorang penumpang perempuan, “Aku tidak bisa tidur di malam hari karena dingin. Para perempuan di kapal ini tidak mendapatkan selimut sebanyak yang didapatkan para lelaki. Hal ini tidak adil!”

Seorang kelasi Meksiko menimpali,
Chingado! Aku hanya mendapatkan setengah dari upah para pelaut Anglo. Kami membutuhkan banyak makanan agar menjaga tubuh kami agar tetap hangat di tengah iklim seperti ini, dan aku tidak mendapatkan jatahku; para Anglo mendapatkan lebih banyak. Dan yang paling buruk dari semua hal tersebut adalah bahwa mereka selalu memberi perintah padaku dalam bahasa Inggris, bukannya Spanyol.”

“Aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengeluh dibanding siapapun juga,” ujar seorang kelasi Indian Amerika, “Apabila para muka pucat tidak merampok tanah-tanah leluhurku, aku tak akan berada di atas kapal ini, di sini di antara gunung es dan angin Arctic. Aku akan hanya mendayung kano di sebuah danau yang indah dan tenang. Aku layak diberi kompensasi. Dan pada akhirnya, sang kapten harus membiarkanku ikut bermain judi agar aku bisa mendapatkan uang.”

Seorang homoseks turut berkata, “Kemarin seorang perwira pertama menghinaku karena aku melakukan oral seks. Aku berhak melakukan oral seks tanpa harus mendapatkan penghinaan.”

“Bukan hanya manusia yang diperlakukan tak adil di atas kapal ini,” seling seorang penyayang binatang yang berada di antara para penumpang, suaranya gemetar penuh kemarahan, “Kenapa, minggu lalu aku melihat perwira kedua menendang anjing kapal ini dua kali.”

Salah seorang dari para penumpang adalah seorang profesor universitas. Dengan meremas-remas tangannya, ia menyatakan, “Semua ini mengerikan! Tak bermoral! Rasisme, seksisme, homofobia dan pengeksploitasian kelas pekerja! Ini adalah diskriminasi! Kita harus memiliki keadilan sosial: upah yang setara bagi kelasi Meksiko, upah lebih tinggi bagi semua kelasi, kompensasi bagi Indian, jumlah selimut yang sama bagi para perempuan, sebuah hak yang dijamin untuk melakukan oral seks, dan tak ada lagi tendangan terhadap anjing.”

“Ya, ya!” seru para penumpang. “Aye-aye!” seru para awak kapal. “Ini semua adalah diskriminasi! Kita harus menuntut hak-hak kita!”

Seorang awak kabin berdehem.

“Ehm. Kalian semua memiliki alasan-alasan yang bagus untuk dikeluhkan. Tetapi bagiku tampaknya apa yang harus kita lakukan adalah memutar kapal ini dan berlayar kembali menuju selatan, karena apabila kita terus berlayar ke utara sudah pasti cepat atau lambat kita akan tenggelam, dan kemudian, upah kalian, selimut kalian, hak kalian untuk melakukan oral seks, tak akan berguna lagi, karena kita semua tenggelam.”

Tetapi tak seorangpun yang memperhatikan dirinya, karena ia hanyalah seorang awak kabin.

Sang kapten dan para perwira, dari stasiun mereka di atas dek buritan, telah melihat dan mendengarkan. Kini mereka tersenyum dan berkedip pada sesamanya, dan dengan satu gerakan saja dari sang kapten, seorang perwira ketiga turun dari atas dek buritan, melangkah menuju ke tempat di mana para penumpang dan awak kapal berkumpul, sambil menembus kerumunan. Ia memasang mimik muka serius di wajahnya dan lantas berkata, “Kami para perwira menyatakan bahwa beberapa hal yang tak termaafkan sedang terjadi di kapal ini. Kami tidak menyadari seberapa buruk situasinya hingga kami mendengar keluhan-keluhan kalian. Kami adalah orang-orang yang beritikad baik dan ingin melakukan tindakan-tindakan yang benar bagi kalian. Tetapi, yah, sang kapten cenderung konservatif dan melakukan caranya sendiri, dan mungkin harus sedikit didorong dulu sebelum ia membuat beberapa perubahan-perubahan yang substansial. Menurut pendapatku pribadi, apabila kalian memprotes dengan giat-tetapi dengan tetap damai dan tanpa melanggar aturan-aturan di atas kapal ini-kalian akan menggoyangkan sang kapten dari kebekuannya dan memaksanya agar mengurusi masalah-masalah yang baru saja kalian keluhkan.”

Setelah mengatakan hal tersebut, perwira ketiga tersebut kembali ke atas dek buritan. Sebagaimana ia pergi, para penumpang dan awak kapal berseru kepadanya, “Moderat! Reformis! Liberal yang sok baik! Kakitangan kapten!” Tetapi mereka melakukan juga apa yang diucapkan sang perwira. Mereka berkumpul di sebuah sisi kapal di hadapan dek buritan, meneriakkan hinaan-hinaan terhadap para perwira dan mengajukan tuntutan untuk hak-hak mereka, “Aku ingin upah lebih tinggi dan kondisi-kondisi kerja yang lebih baik,” seru jurumudi. “Jumlah selimut yang sama bagi perempuan,” seru sang penumpang perempuan. “Aku ingin menerima perintah dalam bahasa Spanyol,” seru sang kelasi Meksiko. “Aku ingin mendapatkan hak untuk mengikuti permainan judi,” seru sang kelasi Indian. “Aku tidak ingin dihina,” seru sang homoseks. “Tak ada lagi yang menendang anjing,” seru sang penyayang binatang. “Revolusi sekarang juga,” seru sang profesor.

Sang kapten dan para perwira berkumpul dan melakukan rapat selama beberapa menit, saling berkedip, mendengus dan tersenyum beberapa saat antara satu sama lain. Kemudian sang kapten melangkah ke depan dek buritan dan, dengan memperlihatkan itikad baiknya, menyatakan bahwa upah sang kelasi yang cakap akan dinaikkan sebanyak enam shilling per bulan; upah kelasi Meksiko akan dinaikkan sebanyak dua pertiga dari kelasi Anglo, dan perintah untuk menjalankan kapal akan diucapkan dalam bahasa Spanyol; para penumpang perempuan akan menerima tambahan satu selimut; kelasi Indian akan diperbolehkan untuk bermain judi setiap Sabtu malam; sang homoseks tak akan dihina selama ia tetap melakukan oral seks di tempat yang tertutup; dan anjing tak akan ditendang kecuali anjing tersebut melakukan tindakan yang benar-benar nakal, seperti mencuri makanan dari dapur.

Para penumpang dan awak kapal merayakan keputusan-keputusan tersebut sebagai sebuah kemenangan besar, tetapi keesokan harinya mereka kembali merasa tak puas.

“Enam shilling per bulan itu terlalu sedikit, dan jari-jariku masih membeku saat aku menjalankan kapal,” umpat sang juru mudi. “Aku masih tidak mendapatkan upah yang sama dengan para kelasi Anglo, ataupun makanan yang cukup untuk iklim yang seperti ini,” ujar sang kelasi Meksiko. “Kami perempuan masih tidak mendapat cukup selimut untuk membuat badan kami hangat,” ujar sang penumpang perempuan. Para kelasi dan penumpang lain menyuarakan keluhan-keluhan yang serupa, dan sang profesor mengambil kesimpulan dari semuanya.

Saat mereka semua telah selesai berbicara, sang awak kabin berkata-kali ini dengan suara lebih keras sehingga yang lain tak akan lagi tak memperhatikannya.

“Memang sangat buruk apabila anjng tersebut ditendang hanya karena mencuri sedikit roti dari dapur, dan apabila para perempuan tidak mendapatkan jumlah selimut yang setara, dan sang jurumudi membeku jemarinya, dan aku juga tidak melihat alasan mengapa homoseks tidak boleh melakukan oral seks kapanpun ia mau. Tetapi perhatikan seberapa tebal gunung-gunung es sekarang, dan bagaimana hembusan angin semakin kencang dan semakin kencang! Kita harus mengubah arah kapal ini kembali ke selatan, karena apabila kita tetap meluncur ke utara kita akan menabrak dan tenggelam.”

“Oh ya,” ujar sang homoseks, “Bukankah mengerikan apabila kita terus berlayar ke utara. Tetapi mengapa aku harus melakukan orang seks di tempat tertutup? Mengapa aku harus mendapat penghinaan? Bukankah aku setara dengan orang lainnya?”

“Berlayar menuju utara memang mengerikan,” ujar sang penumpang perempuan, “Tetapi tidakkah kau lihat? Itu alasannya mengapa perempuan membutuhkan lebih banyak selimut agar tetap hangat. Aku menuntut jumlah selimut yang setara bagi perempuan, sekarang juga!”

“Cukup benar,” ujar sang profesor, “Bahwa berlayar ke utara memberikan kesulitan-kesulitan pelayaran yang lebih besar bagi kita semua. Tetapi mengubah arah haluan ke selatan jelas tidak realistis. Engkau tak dapat mengembalikan waktu. Kita harus bersikap dewasa dalam berurusan dengan situasi seperti ini.”

“Lihat,” ujar sang awak kabin, “Apabila kita membiarkan empat orang gila di dek buritan itu menjalankan apa yang mereka mau, kita semua akan tenggelam. Apabila kita dapat membawa kapal ini keluar dari bahaya, maka barulah kita bisa mulai khawatir tentang kondisi-kondisi kerja, selimut bagi para perempuan, hak untuk melakukan oral seks. Tetapi pertama-tama kita harus membuat kapal ini berbalik arah. Apabila beberapa dari kita bekerjasama, membuat rencana dan memperlihatkan sedikit keberanian, kita dapat menyelamatkan diri kita semua. Tidak perlu terlalu banyak-enam atau delapan orang saja cukup. Kita dapat mengambil alih buritan, menyingkirkan mereka dari posisinya, dan membelokkan kapal ke arah selatan.”

Sang profesor mendenguskan hidungnya dan bersuara keras, “Aku tidak percaya pada kekerasan. Itu tak bermoral.”

“Sangat tidak etis untuk menggunakan kekerasan,” ujar sang homoseks.

“Aku takut pada kekerasan,” ujar sang penumpang perempuan.

Sang kapten dan para perwira telah melihat dan mendengarkan selama beberapa saat. Dengan sebuah sinyal dari sang kapten, perwira ketiga melangkah turun ke dek utama. Ia melangkah menuju ke arah para penumpang dan awak kapal, berkata pada mereka bahwa masih juga banyak masalah di atas kapal.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan,” ujarnya, “Tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Kondisi-kondisi kerja bagi jurumudi masih sulit, kelasi Meksiko masih mendapat upah yang tak setara dengan kelasi Anglo, para perempuan masih juga tidak mendapatkan selimut yang sama banyak dengan para lelaki, permainan judi Sabtu malam bagi sang Indian juga masih berupa kompensasi yang jauh dari cukup atas tanahnya yang hilang, sama sekali tak adil bagi homoseks apabila ia hanya boleh melakukan oral seks di tempat tertutup, dan anjing itu masih juga ditendang.

“Aku pikir sang kapten harus didorong lagi. Akan sangat membantu apabila kalian menyelenggarakan protes lagi-selama tidak dengan kekerasan.”

Sebagaimana sang perwira ketiga berjalan kembali ke buritan, para penumpang dan awak kapal mengeluarkan hinaan-hinaan padanya, tetapi mereka juga tetap menjalankan apa yang sang perwira katakan dan berkumpul di depan buritan untuk melakukan protes lagi. Mereka berseru dan mengoceh serta mengacungkan kepalan tangan mereka, dan bahkan mereka juga melemparkan sebuah telur busuk pada sang kapten (yang mana dengan lihai dielakkannya).

Setelah mendengarkan keluhan-keluhan mereka, sang kapten dan perwira berkumpul dan melakukan sebuah rapat, yang mana selama rapat mereka saling berkedip dan meringis dengan sesamanya. Kemudian sang kapten melangkah ke depan dek buritan dan menyatakan bahwa sang jurumudi akan diberi sarung tangan agar jemarinya tetap hangat, kelasi Meksiko akan menerima upah yang setara dengan tiga per empat upah kelasi Anglo, para perempuan akan mendapatkan tambahan selimut, kelasi Indian diperbolehkan berjudi pada Sabtu malam dan Minggu malam, sang homoseks diperbolehkan melakukan oral seks di manapun setelah hari gelap, dan tak ada seorangpun yang boleh menendang anjing tanpa seijin kapten kapal.

Para penumpang dan awak kapal bergembira atas kemenangan revolusioner besar ini, tetapi keesokan harinya mereka kembali merasa tak puas dan mulai menggerutu atas kesulitan-kesulitan yang sama dalam pelayaran tersebut.

Kali ini sang awak kabin menjadi marah.

“Kalian tolol!” teriaknya, “Tidakkah kalian lihat apa yang sang kapten dan para perwiranya lakukan? Mereka terus membuat kalian berpikir pada kesialan-kesialan tak penting seperti selimut dan upah dan anjing yang ditendang sehingga kalian tidak akan berpikir tentang apa yang sebenarnya salah dengan kapal ini-bahwa kapal ini terus berlayar semakin dan semakin jauh ke utara dan kita semua akan tenggelam. Apabila saja beberapa dari kalian sadar, bekerjasama, dan mengambil alih buritan, kita dapat memutar arah kapal ini dan menyelamatkan kita semua. Tapi semua yang kalian lakukan hanyalah mengeluhkan isu-isu remeh seperti kondisi-kondisi kerja dan permainan judi dan hak untuk melakukan oral seks.”

Para penumpang dan awak kapal mulai naik darah.

“Menyedihkan!” seru sang Meksiko, “Apakah pikirmu memang wajar kalau aku hanya mendapatkan tiga per empat upah seorang kelasi Anglo? Bukankah itu menyedihkan?”

“Bagaimana bisa engkau menyebut kesialanku ini tidak penting?” seru sang homoseks, “Tidakkah engkau tahu bahwa dihina itu sangat menyakitkan?”

“Menendang anjing itu bukanlah sebuah isu yang remeh!” seru sang penyayang binatang, “Hal tersebut tak berperasaan, kejam dan brutal!”

“Baiklah kalau begitu,” jawab sang awak kabin, “Isu-isu tersebut tidak remeh dan penting. Menendang anjing adalah tindakan yang kejam dan brutal, serta sangat menyakitkan kalau dihina. Tetapi dibandingkan dengan masalah utama kita--dibandingkan pada fakta bahwa kapal kita masih mengarah ke utara--kesialan-kesialan kalian menjadi sesuatu yang remeh dan tak penting, karena apabila kita tidak sesegera mungkin mengubah arah kapal ini, kita semua akan tenggelam.”

“Fasis!” ujar sang profesor.

“Kontra-revolusioner!” ujar sang penumpang perempuan. Dan seluruh penumpang serta awak kapal saling berbicara di antara mereka sendiri, menyebut sang awak kabin sebagai seorang fasis dan kontra-revolusioner. Mereka mendorong sang awak kabin ke pinggir dan kembali menggerutu tentang upah, tentang selimut bagi para perempuan, dan tentang hak untuk melakukan oral seks, dan juga tentang bagaimana anjing harus diperlakukan.

Kapal tersebut tetap berlayar ke arah utara, dan setelah beberapa saat, kapal tersebut terjepit hingga hancur di antara dua buah gunung es dan semua orang tenggelam.