01 Juli 2009

Selembar Manifesto Kesunyian


Seorang lelaki tua hidup di satu kota kecil yang memiliki sebuah pabrik. Pabrik tersebut mengeluarkan bunyi gemuruh sepanjang pagi, siang dan malam. Hampir-hampir tak mampu mendengar suara apapun selain gemuruh pabrik tersebut apabila berada di dekatnya. Orang-orang di kota kecil itu harus berteriak-teriak sekuat tenaga apabila mereka hendak berbicara dengan sesamanya, banyak dari mereka termenung, membayangkan betapa kehidupan masa kecil mereka yang indah di kota kecil itu yang kini telah hilang. Mereka menyetel volume pada posisi maksimum saat mereka ingin mendengarkan musik; mereka membunyikan alarm jam sekeras ledakan dinamit saat mereka harus bangun tepat pada waktunya. Tak ada lagi satu ruang atau momen pun yang dapat lolos dari ledakan-ledakan bebunyian yang semakin beradu keras satu sama lain.

Hanya lelaki tua itu, yang masih menjadi seorang anak kecil saat pabrik tersebut belum dibangun. Yang masih ingat bagaimana caranya berjalan, berpikir, dan hidup dalam kesunyian. Ia berusaha untuk menerangkan kepada orang lain di sekitarnya, akan tetapi tak seorangpun dapat mendengarkan suaranya yang lirih. Ia berusaha merenungkan apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan kebisingan tersebut, tetapi ia tak mampu memfokuskan pikirannya karena kebisingan yang sangat mengganggu. Ia menyumbat lubang telinganya dengan kapas dan wax, menekan kepalanya ke bantal--tak satupun yang berhasil menyelamatkannya dari kebisingan. Akhirnya, digerakkan oleh rasa marah yang diakibatkan dengungan dan gemuruh yang dikeluarkan oleh mesin di pabrik secara konstan, jeritan sirine, deru roda-roda dari truk-truk pabrik yang beradu dengan jalanan, teriakan dan jeritan-jeritan para tetangganya, ia meraih sebuah martil besar dan berjalan menuju pusat kota kecil tersebut, dimana pabrik sumber kebisingan itu berdiri. Ia memanjat, melewati kawat berduri di tembok pagar pabrik, mengandalkan kemampuan fisiknya yang mulai melemah dimakan usia, menuju pintu belakang pabrik yang tak terjaga. Pintu tersebut tak terkunci, dan ia masuk; tetapi seorang penjaga pabrik melihat gerak-geriknya dan memutuskan untuk mengikutinya.

Lelaki tua tersebut menemukan dirinya berdiri di hadapan sebuah mesin raksasa yang menjerit-jerit, gelombang hantaman martilnya menimbulkan sebuah ritme yang memekakan telinga berkompetisi dengan jeritan mesin. Dikejutkan oleh ukuran raksasa mesin di hadapannya, hampir tersihir, ia berjuang menghancurkannya. Pipa demi pipa, sekrup demi sekrup, gelombang hantaman martil melayang tak henti-henti. Saat ia mulai terlihat hendak menghancurkan mesin utama, sang penjaga yang sedari tadi telah menguntitnya, yang tampak menyeramkan berkat seragam dan mengenakan penutup telinga yang besar, meraih tubuhnya dengan mudah, menyeretnya pergi.

Lelaki tua tersebut dikirim ke penjara yang berada di pinggir kota. Halaman penjara tersebut bergaung setiap siang dan malam akibat suara yang ditimbulkan oleh para narapidana. Dering bel, pintu besi yang dibanting, dan gemerincing kunci di ikat pinggang sipir; tetapi untuk pertama kalinya ia tak merasa terganggu dangan semua suara tersebut: momen-momen yang ia habiskan di dalam pabrik, di hadapan mesin, telah menulikan kedua telinganya. Dalam kedamaian baru yang ia temukan kini, ia tuliskan sebuah manifesto tentang kesunyian dalam selembar kertas lusuh yang ia temukan dalam penjara. Yang pada saatnya nanti, akan dibaca oleh jutaan orang dan dibisikkan dari telinga ke telinga tanpa henti. Tanpa henti, bahkan juga dalam ratusan tahun setelah kematian sang lelaki tua tersebut.


(Taufan Ishmael)

Tentang


Sore ini, lagi aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
Bukan tentang si Cantik nan Liar dari selatan,
si Gagah yang menggentarkan nyaliku,
atau si Pemalu yang aku lihat dari kamar sang pelukis.
Tapi si Anggun yang mengisi rongga jiwaku hari ini
dengan senyum kecil yang merona dari utara.

"Ada yang datang dan ada yang pergi.
Dan ada yang datang
dan tak ingin melepasnya untuk pergi."
Itu pikiran yang mereka lemparkan untuku.

Tetapi keempat cinta itu tak mampu mengisi hatiku
yang masih sangat begitu luas dan siap di singgahi yang lainnya.
Biar bagaimanapun aku juga tak mau
membiarkan cintanya terbagi kepada orang lain,
apalagi orang jahat.


Karna aku takut akan...

Keliaran yang nanti berubah menjadi jinak.
Sebab cinta itu, penaklukan-katanya...


Kegagahan yang nanti akan menjadi lemah.
Sebab mencintai itu, memiliki-katanya...


Si Pemalu menjadi arogan dan ambisius.
Sebab dicintai harus menjadi lebih baik-katanya...


Atau si Anggun hanya akan menjadi fabel.
Sebab cinta adalah sebuah sejarah...


(Teguh Damaraka)