24 Maret 2010

Katastrofa


"Sepertinya sebentar lagi akan kukirim hujan yang lebat beserta angin yang berhembus kencang. Tidak, aku berubah pikiran. Aku mengirim badai. Persiapkan dirimu karena nampaknya bencana besar akan menghampirimu."

Tidak ada kata yang mampu melukiskan kemurkaanku. Aku, yang mencipta, meletakkan satu gundukan salju di tengah-tengah hamparan pasir. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Tapi siapa yang dapat mengerti apa yang hendak kusampaikan? Bagaimana mungkin kalian memahaminya jika yang kalian lakukan hanya memandangi, menyimpan gambarnya di dalam otak, lalu pergi memberitahu sesama tanpa sedikitpun renungan atas kejanggalan itu? Seperti memamerkan sesuatu untuk sebuah pujian atau hinaan. Betapa teganya kalian.

Tak dapat dipungkiri, itulah kalian, yang semakin lama semakin pintar tapi tidak semakin peka terhadap amarah tak berwujud. Bukan aku menghakimi, hanya saja banyak yang mengaku pintar tetapi tidak benar-benar pandai.

Kalian menari memohon aku untuk menangisi tanah kering, sudah kulakukan. Dan setelah satu permohonan terwujud, kalian menari lagi untuk menghentikan tangisanku. Tak pernah kupertanyakan maksud terpendam di setiap tarianmu. Aku melakukannya dengan senang hati. Bahagiaku melihat senyum di bibir kalian.

Akan tetapi, kekecewaanku bertambah seiring perkembangan keturunan kalian. Tak lagi dapat kulihat tulusnya permohonan ataupun senyuman pertemanan. Kalian yang kini terlalu pintar, berlomba mencipta sesuatu yang lebih agung. Berhentilah berkompetisi denganku. Karena yang kutahu, kekalahanku berarti pemusnahan akan sesamamu.

Kalian, sekumpulan otak yang berbalut tengkorak, terbungkus rapih oleh daging dan darah yang mengalir dengan berbagai aroma kerakusan dan ketidakpuasan. Sesungguhnya tidak pernah benar-benar mengetahui siapa aku sebenarnya. Kalian hanya meraba tanpa pernah benar-benar mengerti. Ketika kebanggaanmu hanya sebatas penciptaan maka semakin sukar kau memahamiku. Karena aku bukan hanya pencipta.

Aku menunjuk siapapun dari kalian untuk mengalahkanku. Kalahkan aku! Dalam segalanya. Karena sekarang, amarahku memuncak, sisi lain diriku yang belum pernah muncul di hadapan leluhur kalian. Bahkan lebih besar dari pemusnahan manapun yang tertulis. Tentu kalian mengetahuinya, kalian sekumpulan bangsa yang cerdas bukan? Sekumpulan otak yang dapat berjalan. Tapi sepintar apapun kalian, aku tak terelakkan. Karena aku yang menciptakanmu.

Tapi aku yang lebih tak bernilai dari angka-angka ciptaanmu, bahkan lebih sederhana dari segala kemewahanmu. Namun dalam keterpurukanku olehmu, akulah kehancuranmu. Amarahku akan penghancuranmu terhadap segala ciptaanku, membuatku menghancurkanmu dengan senang hati. Ingatkah kau kepada dosa-dosamu akan penghancuran yang kau lakukan demi puji-pujian dari sesamamu, demi kemudahanmu, dan demi kerakusanmu atas sebuah harga dan nilai?

Aku, yang dengan senang hati akan melakukan pembalasan terhadapmu. Akulah utusan dari penciptaanku yang kau hancurkan tanpa rasa belas kasih. Akan kuhanguskan bangsamu seperti kau menghanguskan hutan-hutanku. Kau akan mati terinjak dengan seluruh isi dalam balutan dagingmu terburai keluar. Sama seperti ketika kau meratakan teman-teman kecilku dengan alat-alat berat ciptaanmu demi setumpuk kertas yang dapat kau tukar untuk kain penutup auratmu.

Tidak lama lagi kalian akan melihat bagian lain dari diriku. Dan ketika saat itu tiba, aku akan mengembalikan ingatanmu tentang dosa yang kalian lakukan, satu persatu. Dan dengan sebuah senyum kepuasan aku akan melakukannya. Aku hanya menyampaikan pembalasan yang tak mampu dilakukan oleh semut-semut yang terinjak. Tidak lebih.



(Vendethiel)

14 Maret 2010

Residu


Kelak,
kami akan jadi jelmaan kanak-kanak yang membludak. Menggodok residu, membedaki wajah dengan mesiu, dan menghantam telak jidatmu dengan tinju. Bukan peluru! Hanya persis!

Kelak,
kami akan menjelma jadi kanak-kanak yang memiliki nyanyinya sendiri seperti masa lalu, dengan dolanan yang biasa (bikinan papa), tanpa mainan yang dibeli dengan harga diri (kecemberutan mama dan kecemburuan tetangga).

Kelak,
kami akan jadi buah yang matang dan juga mempertanyakan jaman. Yang membantah juga menanam bibit pembangkangan pada jejeran menara buram.

Kelak,
kami akan jadi kanak-kanak lagi. Mengendarai kapal-kapalan kertas, cinta-cinta yang kapas, tapi membawa ketapel-ketapel cadas.

Oi, kau tahu? Dan kinilah kelak itu! Sebab telah kami aktifkan bom waktu, yang kami hitung mundur dari sekarang, yang kami endapkan sejak masa lalu dan akan diwariskan pada masa depan.

Hitung olehmu; Lima, empat, tiga, dua, dan ...