Ia selamat. Takdirnya terbakar bersama ledakan, tipu daya mengoyak sayapnya. Ia beranjak ke luar saat keluguan berakhir di bawah bulan yang bersinar cerah bagai lubang putih menusuk malam. Tapi sejak saat itu bulan hanya bulan, bintang hanya bintang. Tak lebih.
Lalu pagi datang, mentari bersinar. Ia terjebak dalam lorong tempatnya bersemayam di waktu malam dan ia tak bisa --tak mau dengar tangisan. Ia berdiri sendirian di sampingmu, mendengarkan tanda kehidupan dari dalam diri, menderitai berkah ilahi, mengejar juga memburumu.
Hidup memang pahit ketika kau menyentuh tanah. Saat yang sia, cinta yang salah. Tak peduli manisnya buah, peluh berduri, tunas asam, kau tetap menikmati muntah. Ketika patah dan di bawah kau ingin meremukkan segalanya, semua yang masih mau mengerti.
Bisa kulihat penyihir membakar matamu. Tapi bukan mereka yang menjualmu dusta ini, mereka tak menjabat tangan lalu mengacungkan tombak. Ambil semua. Patahkan semua. Palsukan semua. Persetan semuanya. Tak berarti apa, bukan mauku. Segalanya patut demi rasamu.
"Semoga semua raja terbenam darah keserakahannya, bendera berhenti berkibar di ujung tiang, pelahap terhunus rusuk yang lapar, dan semua orang suci menggadaikan nyawa. Semoga pemimpi terjaga di dunia yang kosong, kekasih menyakiti dan tersakiti, pujangga tersedak buaiannya sendiri, dan semua membungkuk sebelum ajal menjelang."
"Semoga para pencari tersesat di gurun, terbaring di atas bebatuan, orang sakit melebur, yang sehat tertular, dan tikus berebutan menggeragoti belulangnya. Semoga kebencian menguasai dunia terkutuk--di mana sungai berhenti mengalir. Biarkan matahari menyinari tanah patah hati ini, ajak ia datang ke sini."
“Beri aku hati untuk aku patahkan, racun untuk kuminum. Jika kubisa menukar sakit ini dengan percuma yang pahit dan kacau, hati sehitam matahari akan berhenti terbit.” Kau meracau lagi.
Kemana arahmu jika tak ada tujuan? Di sini, di sana, di mana saja semua sama. Kemana kau pergi jika tak ada tujuan? Langkahmu membeku, ada yang patah dan kau menyerah, menangis, menitikkan lautan air mata. Harapan kosong dan gairah yang ingkar, ternodai setelah sekian lama oleh kerumunan tak berwajah. Terlumpuhkan, terbenam seperti selama ini.
Lebih baik tiada daripada bertahan seperti ini. Lalu melepaskan engkau dan sepertimu untuk bebas dalam kematian, jika tidak dalam kehidupan. Dan sisanya rahasia. Diamlah sekarang. Jika malam telah turun, tidurlah yang nyenyak. Dan sisanya adalah diam, kini telah jadi rahasia. Saat gelap mencekam, mimpilah yang indah. Mimpikan tidurmu.
Lalu pagi datang, mentari bersinar. Ia terjebak dalam lorong tempatnya bersemayam di waktu malam dan ia tak bisa --tak mau dengar tangisan. Ia berdiri sendirian di sampingmu, mendengarkan tanda kehidupan dari dalam diri, menderitai berkah ilahi, mengejar juga memburumu.
Hidup memang pahit ketika kau menyentuh tanah. Saat yang sia, cinta yang salah. Tak peduli manisnya buah, peluh berduri, tunas asam, kau tetap menikmati muntah. Ketika patah dan di bawah kau ingin meremukkan segalanya, semua yang masih mau mengerti.
Bisa kulihat penyihir membakar matamu. Tapi bukan mereka yang menjualmu dusta ini, mereka tak menjabat tangan lalu mengacungkan tombak. Ambil semua. Patahkan semua. Palsukan semua. Persetan semuanya. Tak berarti apa, bukan mauku. Segalanya patut demi rasamu.
"Semoga semua raja terbenam darah keserakahannya, bendera berhenti berkibar di ujung tiang, pelahap terhunus rusuk yang lapar, dan semua orang suci menggadaikan nyawa. Semoga pemimpi terjaga di dunia yang kosong, kekasih menyakiti dan tersakiti, pujangga tersedak buaiannya sendiri, dan semua membungkuk sebelum ajal menjelang."
"Semoga para pencari tersesat di gurun, terbaring di atas bebatuan, orang sakit melebur, yang sehat tertular, dan tikus berebutan menggeragoti belulangnya. Semoga kebencian menguasai dunia terkutuk--di mana sungai berhenti mengalir. Biarkan matahari menyinari tanah patah hati ini, ajak ia datang ke sini."
“Beri aku hati untuk aku patahkan, racun untuk kuminum. Jika kubisa menukar sakit ini dengan percuma yang pahit dan kacau, hati sehitam matahari akan berhenti terbit.” Kau meracau lagi.
Kemana arahmu jika tak ada tujuan? Di sini, di sana, di mana saja semua sama. Kemana kau pergi jika tak ada tujuan? Langkahmu membeku, ada yang patah dan kau menyerah, menangis, menitikkan lautan air mata. Harapan kosong dan gairah yang ingkar, ternodai setelah sekian lama oleh kerumunan tak berwajah. Terlumpuhkan, terbenam seperti selama ini.
Lebih baik tiada daripada bertahan seperti ini. Lalu melepaskan engkau dan sepertimu untuk bebas dalam kematian, jika tidak dalam kehidupan. Dan sisanya rahasia. Diamlah sekarang. Jika malam telah turun, tidurlah yang nyenyak. Dan sisanya adalah diam, kini telah jadi rahasia. Saat gelap mencekam, mimpilah yang indah. Mimpikan tidurmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar