“Ia datang!”
Ia datang bagai mempelai berdarah dari kamar. Langkahnya berawal dari kerangkeng, meniti anak tangga menuju akhir.
Bagimu yang memilih rantai neraka bagaikan surga. Terkapar di bawah tatapan mereka, potongan dirimu takkan pernah mencukupi. Itulah semua yang bisa dicuri. Mudah jika kau tak pernah merasa: Apa kau menaklukkan mimpi buruk, menyingkatnya hingga habis dan menawarkan untuk berbagi sebuah tempat di bawah bayang pisau pemenggal? Apa kau diberkati dalam detik tanpa nyawa ini?
Aku tersedak lingkaran kebajikanmu. Menatap dunia yang tak pernah kita kenali dari balik jeruji. Tersesat dalam kota, diacuhkan kerumunan. Mereka di sekelilingmu terikat dan tercekik, saling mencekik, tersandera, sesak nafas dalam Panoptikon. Memaknai batas, dikutuk hidup, tak ada rahasia yang luput dari matanya. Yang kaupikir berdetak ada dalam hatinya, mengingkari semua cipta. Ketiadaannya mengecup pahit.
Aku akan menjegal celah. Tak ada tempat untuk takut bagi setiap lutut yang membungkuk. Aku akan menari di bawah bayang pisau pemenggal yang mengeluarkan ritme keringatnya bagi setiap kepala yang tidak tertunduk. Satu demi satu dihakimi, “Apa kau suci dan bersih?” Satu persatu.
Suatu hari akan ada yang bangkit mendaki langit dan merobohkan menara kerajaan Tuhan. Patahannya meniadakan kekangan. Dalam singgasana mesin kematian tak ada ruang gerak, hidup dalam ketakutan.
Sampai tiba saatnya nanti roda berhenti berputar, saluran mengelabui haluan, cahaya meredup, kemudian mati, gelap dan bangunan mulai menghembus nafas api, akan kusambut secercah terang!