Orang tua:
Mengapa kau tinggalkan jalan yang lurus dan terbuka hanya untuk berada di jalan sempit yang sukar ini? Tahukah kau, wahai gadis kecil, kemana akan kau bawa dirimu? Jurang yang tak terhingga bisa saja menantimu di depan sana. Tak seorangpun, bahkan para penjahat, berani menyusuri jalan itu. Tetaplah berada di jalan yang lebar dan terang yang dilalui oleh banyak orang. Maukah kau? Berada di jalan-jalan yang telah di tentukan, diukur, dan ditandai. Sungguhlah nyaman dan aman untuk berada di jalan semacam itu.
Gadis kecil:
“Aku sudah muak dengan debu-debu, muak dengan rute yang dilalui oleh banyak orang; muak dengan para pengemudi dan para pejalan kaki yang terburu-buru. Aku lelah melihat kemonotonan semua itu, klakson mobil dan pohon-pohon yang tersusun seperti halnya barisan tentara. Aku ingin bernafas bebas, sesuka hatiku, menghidupi hidupku sendiri.”
Orang tua:
“Engkau takkan bisa mengatur hidupmu sendiri, wahai gadis kecil yang malang. Sungguh tak masuk akal untuk hidup seperti itu. Percayalah bahwa tahun-tahun akan berlalu dan memenuhi semua keinginanmu itu. Kita harus hidup seperti orang biasanya, saling membagi kepada sesama, seperti juga yang akan mereka lakukan pada kita. Mereka yang menanam gandum tidaklah sama dengan mereka yang membuat roti. Dan para penambang bukanlah orang-orang yang mengemudikan kereta api. Hidup bermasyarakat itu seperti iringan mesin manusia yang sangat rumit, untuk menjalankan fungsinya dibutuhkan kecekatan, perhitungan-perhitungan dan kecermatan.”
“Bayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi bila setiap orang ingin hidup sesuka hati mereka! Nerakalah yang akan terjadi apabila setiap orang berjalan di sebuah jalan yang tak pernah dilalui orang lain, dimana rumput liar tumbuh sembarangan, dan tak ada seorangpun yang tahu kemana arahnya jalan itu.”
Gadis kecil:
“Wahai, pak tua! Kerumitan hidup di dalam masyarakatlah yang membuatku ngeri. Aku tak ingin diwajibkan untuk bergantung pada seseorang, apalagi berada di bawahnya. Kewajiban semacam ini mempengaruhi diriku, dan hari demi hari aku tak dapat lagi menahan bebannya. Dan hatiku merasa kurang nyaman ketika aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus menghidupi kehidupan orang lain, mendedikasikan hidupku untuk bekerja bagi kepentingan orang lain; Aku ingin bebas menjalani hidupku tanpa pernah dianggap sebagai pemalas. Aku ingin tidur-tiduran di atas rumput tanpa harus takut oleh polisi. Aku menyukai pohon-pohon, mahkluk hutan, semak-semak dan buah-buahan diantaranya. Peduli apa aku dengan pabrik roti dan istana-istana yang hanya membuatku jijik? Haruskah aku peduli kemana jalan ini akan membawaku nanti? Aku hidup untuk hari ini, dan aku bisa saja berpikir berbeda esok hari.”
Orang tua:
”Oh, Gadis kecil yang malang! Orang-orang sebelum kau pernah melontarkan kata-kata yang serupa, dan mereka, seperti juga kamu, telah pergi entah kemana. Mereka tak pernah kembali. Tapi tak lama kemudian, di jalan-jalan yang mereka lalui itu, ketika jalan-jalan itu telah dibangun, dan semak-semak liar telah dihabisi, terdapat setumpuk tulang belulang dimana-mana, dan itulah sisa-sisa dari mereka. Memang, mereka memang menghidupi hidup sesuai keinginan mereka, tapi apakah sebanding? Dan sampai berapa lama sih cara hidup seperti itu bisa bertahan? Coba kau amati asap-asap dari gedung-gedung tinggi itu. Itu adalah cerobong asap pabrik-pabrik yang dibangun oleh manusia. Disana, jutaan manusia, di dalam gedung bercat putih, besar, dan berventilasi, menjalankan mesin-mesin besar yang menghasilkan barang-barang yang sangat diperlukan oleh manusia. Dan ketika malam tiba, manusia-manusia sederhana ini, tersenyum puas setelah sehari bekerja. Sadar bahwa keringat yang mereka keluarkan sebanding dengan roti yang akan mereka makan. Lihatlah gedung berbentuk persegi panjang disana, dimana di dalamnya terdapat aula-aula dan ruang kelas; itulah yang dinamakan sekolah, dimana guru-guru tanpa pamrih sedang mempersiapkan anak-anak sepertimu agar dapat mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup; anak-anak yang mengambil manfaat dari sekolah -- tak bisakah kau mendengar suara manis anak-anak itu menghafalkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan pada mereka hari kemarin?
Bebunyian bell dan gerak-gerak kaki yang teratur, yang pada saatnya akan mengatasi jalan-jalan sulit di depan mereka, tersedia juga untukmu. Untuk mempersiapkan generasi yang akan berjalan rapih dengan bendera berkibar tinggi diatas mereka, anak-anak ini yang dididik di dalam sekolah agar siap berjuang dan membela bangsa dan negara mereka. .
Begitulah cara-cara bagaimana manusia berkembang, dimana setiap orang bekerja menurut keahlian dan kapasitasnya masing-masing? Tak perlu diragukan lagi, memang, bahwa ada yang namanya penjara dan pengadilan, namun tempat-tempat semacam ini hanya diperuntukan bagi mereka yang tak puas, bagi segelintir pengacau tatanan masyarakat. Perlu kau ingat, bahwa hal semacam ini sudah berjalan lama, bahkan berabad-abad. Inilah peradaban kita – tidak sempurna memang, tapi masih bisa disempurnakan – yang tak bisa kau acuhkan atau lari darinya.
Gadis kecil:
“Maaf pak tua! Atau peduli setan dengan kesopanan! Yang bisa kulihat di dalam pabrik-pabrik yang kau bilang tadi hanyalah segerombolan budak-budak, yang mengikuti aturan-aturan monoton, layaknya aturan-aturan itu adalah ritual keagamaan, mereka itu budak-budak yang inisiatifnya telah hilang, energi mereka setiap hari dihisap demi kepentingan segelintir orang. Semakin hari aku memperhatikannya, aku semakin yakin kalaulah bohong untuk menyebut aktivitas semacam itu diperlukan bagi eksistensi manusia. Dari atas kebawah, di dalam pengaturan-pengaturan yang hirarkis, hanya satu kata yang dapat didengar – matilah inisiatif individu!
Oh ya, tentu saja aku mendengar nyanyian-nyanyian pekerjamu, namun dengan nadanya yang pahit, dan itu hanya akan terjadi ketika mereka berhenti disuatu tempat untuk bermabuk-mabukan. Ironisnya, tempat-tempat mabuk itu disediakan oleh para majikan mereka, suatu kebetulan? Suara-suara yang datang dari sekolahmu terdengar seperti keluhan getir dari anak-anak kecil yang bosan yang sebenarnya ingin jauh berlari, menaiki pagar-pagar, dan memanjat pohon, dan bebas dari horor sekolah. Di dalam seragam-seragam tentaramu hanya dapat kulihat mahkluk-mahkluk yang harga diri individualnya telah dienyahkan. Untuk mendisiplinkan keinginan, untuk menghabisi energi, untuk membatasi inisiatif – ini adalah karakter mendasar dari masyarakatmu, cara-cara inilah yang membuat orang-orang menderita hanya karena satu alasan absurd bahwa masyarakat harus bertahan. Mana sih yang kau kategorikan sebagai masyarakat? Dan ketika kau menjumpai orang-orang yang tak dapat mengikuti alur masyarakatmu ini, maka kau akan menempatkan mereka di dalam penjara-penjara yang gelap. Antara ”manusia beradabmu” dengan ”mereka yang menutup tubuhnya dengan kulit binatang”, mana yang lebih hebat? Yang kedua tak pernah mengenal rasa takut, pabrik ataupun barak, rumah bordil atau bar, juga tidak dengan sekolah dan penjara. Apa yang bisa kau lakukan hanyalah melestarikan, dan memodifikasikan mereka hanya dalam tampilannya, takhyul dan nilai-nilai dari masyarakat semacam itu kau sebut sebagai ”kebengisan”. Tapi banyak yang kau tak miliki dari mereka; kau tak punya energi dan keberanian mereka, apalagi kejujuran yang mereka punya.”
Orang tua:
“Aku cukup sependapat bahwa memang ada sisi-sisi gelap di dalam masyarakat. Tapi masih banyak orang-orang berjiwa besar yang mencoba menyuntikan kesetaraan dan keadilan ke dalam fungsinya. Mereka ini sedang merekrut pengikut, dan siapa tahu di waktu depan mereka bisa menjadi mayoritas. Karena itu, janganlah kau berjalan di area yang terlarang – akan lebih baik kalau kau tetap mempertahankan prinsip-prinsip mulia dari masyarakat, ikutilah aturan-aturan dan mekanismenya. Percayalah, aku ini orang tua yang berpengalaman; sukses takkan hinggap ke orang-orang yang tidak secara sistematis mengejarnya. Sains mengajari kita untuk mengatur kehidupan. Ahli-ahli biologi dan dokter akan mendukungmu dengan formula-formula yang dapat memperpanjang hidup dan kebahagiaanmu. Tidak mempercayai otoritas, prinsip, disiplin, serta perencanaan yang sistematis adalah inkoherensi yang paling buruk.”
Gadis kecil:
“Aku tidak butuh dan tidak ingin kedisiplinanmu. Pengalamanku mengajariku sebaliknya. Melalui pengalamanku sendirilah akan kubangun prinsip-prinsipku, dan bukannya darimu atau orang-orang yang mengatakan mereka lebih tinggi dan lebih tua dariku. Aku ingin menjalani hidupku sendiri. Budak membuatku ngeri. Aku membenci mereka yang mendominasi, dan Aku muak pada mereka yang membiarkan diri mereka didominasi. Ia yang membiarkan dirinya dicambuk tak lebih tinggi dari yang mencambuknya. Aku menyukai resiko dan ketidakpastian, hal-hal tersebut menggodakku. Diriku bergelora akan petualangan, dan aku sama sekali tak peduli akan kesuksesan. Aku membenci masyarakatmu yang birokratis beserta para administrator, milyuner, dan para pengemisnya. Aku tak memiliki sedikitpun keinginan untuk beradaptasi dengan tradisi dan kemuliaan palsumu. Aku ingin hidup dengan antusiasme yang murni, seperti udara kebebasan yang bersih. Jalan-jalanmu yang tersusun rapih menganggu penglihatanku, dan keseragaman bangunan-bangunanmu membuat darahku mendidih tak sabar. Dan semua itu sudah cukup bagiku. Aku akan mengikuti jalanku sendiri, sesuai keinginanku, merubah diriku tanpa ragu, dan aku tak ingin menjadi sama seperti sekarang di keesokan hari. Aku akan pergi tanpa mengekang sayapku. Aku adalah amoral. Aku berjalan ke depan, selamanya, dibekali dengan hasrat yang membakar untuk mempersembahkan diriku pada dunia, pada orang pertama yang menemuiku, pada setiap petualang yang compang-camping, namun tidak pada manusia-manusia sok bijak yang akan membatasiku. Takkan pernah kuserahkan dirikku pada doktrin-doktrin sempit dengan aturan-aturan dan dogmanya. Aku bukan intelektual, Aku adalah manusia – seorang perempuan yang merasakan getaran di dalam dirinya seperti impuls alam dan kata-kata cinta. Aku membenci setiap belenggu, setiap batasan; aku lebih memilih untuk terus berjalan, sesukaku, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitku. Dan kau tahu, pak tua, aku akan berdansa ketika masyarakatmu dengan mesin-mesinnya hancur berkeping-keping. Karena aku sama sekali tidak takut akan kehancuran, Aku memiliki dunia baru di dalam hatiku, yang akan bersemi ketika setiap bangunan dan fondasi dari kepicikan masyarakatmu menjadi abu.
“Siapakah kau, wahai gadis kecil, yang mempesona seperti misteri dan liar seperti insting?”
"Akulah Anarki."
Gadis kecil:
“Aku sudah muak dengan debu-debu, muak dengan rute yang dilalui oleh banyak orang; muak dengan para pengemudi dan para pejalan kaki yang terburu-buru. Aku lelah melihat kemonotonan semua itu, klakson mobil dan pohon-pohon yang tersusun seperti halnya barisan tentara. Aku ingin bernafas bebas, sesuka hatiku, menghidupi hidupku sendiri.”
Orang tua:
“Engkau takkan bisa mengatur hidupmu sendiri, wahai gadis kecil yang malang. Sungguh tak masuk akal untuk hidup seperti itu. Percayalah bahwa tahun-tahun akan berlalu dan memenuhi semua keinginanmu itu. Kita harus hidup seperti orang biasanya, saling membagi kepada sesama, seperti juga yang akan mereka lakukan pada kita. Mereka yang menanam gandum tidaklah sama dengan mereka yang membuat roti. Dan para penambang bukanlah orang-orang yang mengemudikan kereta api. Hidup bermasyarakat itu seperti iringan mesin manusia yang sangat rumit, untuk menjalankan fungsinya dibutuhkan kecekatan, perhitungan-perhitungan dan kecermatan.”
“Bayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi bila setiap orang ingin hidup sesuka hati mereka! Nerakalah yang akan terjadi apabila setiap orang berjalan di sebuah jalan yang tak pernah dilalui orang lain, dimana rumput liar tumbuh sembarangan, dan tak ada seorangpun yang tahu kemana arahnya jalan itu.”
Gadis kecil:
“Wahai, pak tua! Kerumitan hidup di dalam masyarakatlah yang membuatku ngeri. Aku tak ingin diwajibkan untuk bergantung pada seseorang, apalagi berada di bawahnya. Kewajiban semacam ini mempengaruhi diriku, dan hari demi hari aku tak dapat lagi menahan bebannya. Dan hatiku merasa kurang nyaman ketika aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus menghidupi kehidupan orang lain, mendedikasikan hidupku untuk bekerja bagi kepentingan orang lain; Aku ingin bebas menjalani hidupku tanpa pernah dianggap sebagai pemalas. Aku ingin tidur-tiduran di atas rumput tanpa harus takut oleh polisi. Aku menyukai pohon-pohon, mahkluk hutan, semak-semak dan buah-buahan diantaranya. Peduli apa aku dengan pabrik roti dan istana-istana yang hanya membuatku jijik? Haruskah aku peduli kemana jalan ini akan membawaku nanti? Aku hidup untuk hari ini, dan aku bisa saja berpikir berbeda esok hari.”
Orang tua:
”Oh, Gadis kecil yang malang! Orang-orang sebelum kau pernah melontarkan kata-kata yang serupa, dan mereka, seperti juga kamu, telah pergi entah kemana. Mereka tak pernah kembali. Tapi tak lama kemudian, di jalan-jalan yang mereka lalui itu, ketika jalan-jalan itu telah dibangun, dan semak-semak liar telah dihabisi, terdapat setumpuk tulang belulang dimana-mana, dan itulah sisa-sisa dari mereka. Memang, mereka memang menghidupi hidup sesuai keinginan mereka, tapi apakah sebanding? Dan sampai berapa lama sih cara hidup seperti itu bisa bertahan? Coba kau amati asap-asap dari gedung-gedung tinggi itu. Itu adalah cerobong asap pabrik-pabrik yang dibangun oleh manusia. Disana, jutaan manusia, di dalam gedung bercat putih, besar, dan berventilasi, menjalankan mesin-mesin besar yang menghasilkan barang-barang yang sangat diperlukan oleh manusia. Dan ketika malam tiba, manusia-manusia sederhana ini, tersenyum puas setelah sehari bekerja. Sadar bahwa keringat yang mereka keluarkan sebanding dengan roti yang akan mereka makan. Lihatlah gedung berbentuk persegi panjang disana, dimana di dalamnya terdapat aula-aula dan ruang kelas; itulah yang dinamakan sekolah, dimana guru-guru tanpa pamrih sedang mempersiapkan anak-anak sepertimu agar dapat mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup; anak-anak yang mengambil manfaat dari sekolah -- tak bisakah kau mendengar suara manis anak-anak itu menghafalkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan pada mereka hari kemarin?
Bebunyian bell dan gerak-gerak kaki yang teratur, yang pada saatnya akan mengatasi jalan-jalan sulit di depan mereka, tersedia juga untukmu. Untuk mempersiapkan generasi yang akan berjalan rapih dengan bendera berkibar tinggi diatas mereka, anak-anak ini yang dididik di dalam sekolah agar siap berjuang dan membela bangsa dan negara mereka. .
Begitulah cara-cara bagaimana manusia berkembang, dimana setiap orang bekerja menurut keahlian dan kapasitasnya masing-masing? Tak perlu diragukan lagi, memang, bahwa ada yang namanya penjara dan pengadilan, namun tempat-tempat semacam ini hanya diperuntukan bagi mereka yang tak puas, bagi segelintir pengacau tatanan masyarakat. Perlu kau ingat, bahwa hal semacam ini sudah berjalan lama, bahkan berabad-abad. Inilah peradaban kita – tidak sempurna memang, tapi masih bisa disempurnakan – yang tak bisa kau acuhkan atau lari darinya.
Gadis kecil:
“Maaf pak tua! Atau peduli setan dengan kesopanan! Yang bisa kulihat di dalam pabrik-pabrik yang kau bilang tadi hanyalah segerombolan budak-budak, yang mengikuti aturan-aturan monoton, layaknya aturan-aturan itu adalah ritual keagamaan, mereka itu budak-budak yang inisiatifnya telah hilang, energi mereka setiap hari dihisap demi kepentingan segelintir orang. Semakin hari aku memperhatikannya, aku semakin yakin kalaulah bohong untuk menyebut aktivitas semacam itu diperlukan bagi eksistensi manusia. Dari atas kebawah, di dalam pengaturan-pengaturan yang hirarkis, hanya satu kata yang dapat didengar – matilah inisiatif individu!
Oh ya, tentu saja aku mendengar nyanyian-nyanyian pekerjamu, namun dengan nadanya yang pahit, dan itu hanya akan terjadi ketika mereka berhenti disuatu tempat untuk bermabuk-mabukan. Ironisnya, tempat-tempat mabuk itu disediakan oleh para majikan mereka, suatu kebetulan? Suara-suara yang datang dari sekolahmu terdengar seperti keluhan getir dari anak-anak kecil yang bosan yang sebenarnya ingin jauh berlari, menaiki pagar-pagar, dan memanjat pohon, dan bebas dari horor sekolah. Di dalam seragam-seragam tentaramu hanya dapat kulihat mahkluk-mahkluk yang harga diri individualnya telah dienyahkan. Untuk mendisiplinkan keinginan, untuk menghabisi energi, untuk membatasi inisiatif – ini adalah karakter mendasar dari masyarakatmu, cara-cara inilah yang membuat orang-orang menderita hanya karena satu alasan absurd bahwa masyarakat harus bertahan. Mana sih yang kau kategorikan sebagai masyarakat? Dan ketika kau menjumpai orang-orang yang tak dapat mengikuti alur masyarakatmu ini, maka kau akan menempatkan mereka di dalam penjara-penjara yang gelap. Antara ”manusia beradabmu” dengan ”mereka yang menutup tubuhnya dengan kulit binatang”, mana yang lebih hebat? Yang kedua tak pernah mengenal rasa takut, pabrik ataupun barak, rumah bordil atau bar, juga tidak dengan sekolah dan penjara. Apa yang bisa kau lakukan hanyalah melestarikan, dan memodifikasikan mereka hanya dalam tampilannya, takhyul dan nilai-nilai dari masyarakat semacam itu kau sebut sebagai ”kebengisan”. Tapi banyak yang kau tak miliki dari mereka; kau tak punya energi dan keberanian mereka, apalagi kejujuran yang mereka punya.”
Orang tua:
“Aku cukup sependapat bahwa memang ada sisi-sisi gelap di dalam masyarakat. Tapi masih banyak orang-orang berjiwa besar yang mencoba menyuntikan kesetaraan dan keadilan ke dalam fungsinya. Mereka ini sedang merekrut pengikut, dan siapa tahu di waktu depan mereka bisa menjadi mayoritas. Karena itu, janganlah kau berjalan di area yang terlarang – akan lebih baik kalau kau tetap mempertahankan prinsip-prinsip mulia dari masyarakat, ikutilah aturan-aturan dan mekanismenya. Percayalah, aku ini orang tua yang berpengalaman; sukses takkan hinggap ke orang-orang yang tidak secara sistematis mengejarnya. Sains mengajari kita untuk mengatur kehidupan. Ahli-ahli biologi dan dokter akan mendukungmu dengan formula-formula yang dapat memperpanjang hidup dan kebahagiaanmu. Tidak mempercayai otoritas, prinsip, disiplin, serta perencanaan yang sistematis adalah inkoherensi yang paling buruk.”
Gadis kecil:
“Aku tidak butuh dan tidak ingin kedisiplinanmu. Pengalamanku mengajariku sebaliknya. Melalui pengalamanku sendirilah akan kubangun prinsip-prinsipku, dan bukannya darimu atau orang-orang yang mengatakan mereka lebih tinggi dan lebih tua dariku. Aku ingin menjalani hidupku sendiri. Budak membuatku ngeri. Aku membenci mereka yang mendominasi, dan Aku muak pada mereka yang membiarkan diri mereka didominasi. Ia yang membiarkan dirinya dicambuk tak lebih tinggi dari yang mencambuknya. Aku menyukai resiko dan ketidakpastian, hal-hal tersebut menggodakku. Diriku bergelora akan petualangan, dan aku sama sekali tak peduli akan kesuksesan. Aku membenci masyarakatmu yang birokratis beserta para administrator, milyuner, dan para pengemisnya. Aku tak memiliki sedikitpun keinginan untuk beradaptasi dengan tradisi dan kemuliaan palsumu. Aku ingin hidup dengan antusiasme yang murni, seperti udara kebebasan yang bersih. Jalan-jalanmu yang tersusun rapih menganggu penglihatanku, dan keseragaman bangunan-bangunanmu membuat darahku mendidih tak sabar. Dan semua itu sudah cukup bagiku. Aku akan mengikuti jalanku sendiri, sesuai keinginanku, merubah diriku tanpa ragu, dan aku tak ingin menjadi sama seperti sekarang di keesokan hari. Aku akan pergi tanpa mengekang sayapku. Aku adalah amoral. Aku berjalan ke depan, selamanya, dibekali dengan hasrat yang membakar untuk mempersembahkan diriku pada dunia, pada orang pertama yang menemuiku, pada setiap petualang yang compang-camping, namun tidak pada manusia-manusia sok bijak yang akan membatasiku. Takkan pernah kuserahkan dirikku pada doktrin-doktrin sempit dengan aturan-aturan dan dogmanya. Aku bukan intelektual, Aku adalah manusia – seorang perempuan yang merasakan getaran di dalam dirinya seperti impuls alam dan kata-kata cinta. Aku membenci setiap belenggu, setiap batasan; aku lebih memilih untuk terus berjalan, sesukaku, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitku. Dan kau tahu, pak tua, aku akan berdansa ketika masyarakatmu dengan mesin-mesinnya hancur berkeping-keping. Karena aku sama sekali tidak takut akan kehancuran, Aku memiliki dunia baru di dalam hatiku, yang akan bersemi ketika setiap bangunan dan fondasi dari kepicikan masyarakatmu menjadi abu.
“Siapakah kau, wahai gadis kecil, yang mempesona seperti misteri dan liar seperti insting?”
"Akulah Anarki."
(Emile Armand)